Friday, October 2, 2020

POLITIK DALAM NEGERI - Indonesia Harus Keluar dari Jerat Resesi




PT RIFAN FINANCINDO BERJANGKA - Resesi ekonomi akhirnya sampai juga di Indonesia, tepatnya pada kuartal ketiga tahun ini. Masuknya Indonesia ke zona resesi tidak lain merupakan dampak dari pandemi Covid-19 yang menyerang nyaris seluruh negara di dunia.


Beberapa negara bahkan telah lebih dulu dihantam resesi. Untuk tidak memiliki pertumbuhan ekonomi yang negatif, amat sulit di tengah situasi pandemi seperti sekarang.


Pada kuartal II 2020 pertumbuhan ekonomi Indonesia tercatat negatif yakni minus 5,32 persen secara tahunan. Kemudian pada kuartal III 2020, pertumbuhan ekonomi Indonesia juga negatif yaitu pada minus 2,9 persen hingga minus 1,0 persen.


Sebelum pengumuman pertumbuhan ekonomi akhir September 2020, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati, sudah menyatakan bahwa Indonesia akan memasuki resesi. Pemerintah merevisi proyeksi pertumbuhan ekonomi pada kuartal III-2020 menjadi minus 2,9 persen sampai minus 1,1 persen, lebih dalam apabila dibandingkan dengan proyeksi awal sebesar minus 2,1 persen hingga 0 persen.


BACA JUGA : PT Rifan - Imbas PSBB Jilid II, Mengakibatkan Menurunnya Purchasing Managers Index (PMI) ke Level 47,2 Persen


Di sisi lain, setelah direvisi, pertumbuhan ekonomi Indonesia sepanjang 2020 diprediksi minus 1,7 persen sampai minus 0,6 persen, di mana sebelumnya diperkirakan mencapai minus 1,1 persen hingga positif 0,2 persen.


Resesi sendiri menurut Forbes yakni penurunan signifikan dalam kegiatan ekonomi yang berlangsung selama berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun. Sementara para ahli menyebut resesi sebagai negatifnya produk domestik bruto (PDB) yang diakibatkan penurunan signifikan aktivitas ekonomi.


Pandemi Covid-19 menghantam sektor ekonomi di seluruh dunia. Dalam situasi pandemi seperti sekarang, resesi seakan tidak terelakkan. Untuk mendorong konsumsi dan investasi kembali normal masih amat susah.


Resesi biasanya erat kaitannya dengan peningkatan angka pengangguran, penurunan produksi, penurunan penjualan ritel, dan kontraksi di pendapatan manufaktur dalam periode waktu yang panjang. Dampaknya, gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) berlanjut dan kian merata di hampir semua sektor usaha.


Selain itu, daya beli masyarakat juga menurun sehingga menyebabkan bertambahnya jumlah orang miskin. Untuk dampak sosialnya, angka kriminalitas juga berpotensi meningkat. Untuk Indonesia, dampak resesi ekonomi di antaranya, tidak stabilnya kurs dolar, yang membuat rupiah melemah. Suku bunga akan meningkat dengan tidak stabilnya kurs dolar, yang berimbas pada terjadinya inflasi tinggi.


Minat investor pun langsung menurun dan diikuti pelaku pasar saham banyak yang memilih keluar pasar modal. Resesi ekonomi juga bakal memukul sektor ekspor dan impor Indonesia.


Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudhistira, menilai resesi yang terjadi tahun ini lebih parah dari 2008. Menurut dia, dampaknya tahun ini ke semua sektor.


"Tahun 2008 itu juga ada resesi ekonomi global dan Indonesia terdampak. Tapi yang paling terdampak itu adalah sektor keuangan, khususnya perbankan. Sehingga ada bailout Bank Century. 


Strategi Pemerintah Redam Resesi


Menkeu Sri Mulyani menyebut tiga strategi agar Indonesia terhindar dari resesi berkelanjutan yakni akselerasi eksekusi Program PEN, memperkuat konsumsi pemerintah, dan konsumsi masyarakat.


"Strategi percepatan penyerapan untuk kuartal III 2020 menjadi kunci agar kita bisa mengurangi kontraksi ekonomi atau bahkan diharapkan bisa menghindari dari technical ressesion yaitu dua kuartal negatif berturut-turut," terang Sri Mulyani.


Pemerintah sudah mencoba melakukan beberapa langkah untuk meredam resesi. Salah satunya dengan pembagian Bantuan Langsung Tunai (BLT) kepada masyarakat. Namun, menurut Bhima Yudhistira, hal ini belum terlalu efektif.


"Kalau BLT hanya menyasar masyarakat paling bawah, sementara masalahnya sekarang ini, kelas menengah ke atas lebih banyak menyimpan uangnya. Karena mereka tidak percaya diri untuk berbelanja di saat pandemi, angka penularannya masih tinggi," kata Bhima.


"Makanya kalau mau mendorong konsumsi rumah tangga atau daya beli, yang pertama kali harus dipulihkan adalah sisi kesehatan masyarakat. Pandeminya harus dikendalikan dengan testing, tracing dan treatment."


Sementara itu, pemerintah Indonesia sendiri untuk menghadapi situasi dan kondisi saat ini mengandalkan APBN. DPR telah menyetujui Peraturan pengganti undang-undang (Perppu) Nomor 1 tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Disease 2019 (Covid-19) menjadi undang-undang (UU) pada Mei lalu.


Dengan keputusan itu, maka DPR menyetujui pemerintah melebarkan defisit APBN 2020 menjadi 5,07% terhadap PDB. Pemerintah juga harus mencari pembiayaan sekitar Rp 852 triliun untuk menutupi defisit anggaran.


"Dari awal kita tegaskan bahwa untuk menghadapi situasi dan kondisi saat ini mengandalkan APBN, karena itu kan instrumen yang dimiliki pemerintah, termasuk di dalamnya tentang kebijakan fiskal dan moneter," terang Yustinus Prastowo.


"Memperlebar defisit, menambah belanja, memberikan stimulus dan insentif baik perlindungan sosial maupun UMKM dan pelaku usaha, termasuk anggaran kesehatan. Jadi, itu satu kesatuan."


Selain itu, pemerintah telah meluncurkan program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN), yang sampai sekarang programnya terus berkembang dan masih dijalankan. Yustinus mengatakan, mau tidak mau APBN menjadi harapan pemerintah untuk digunakan dalam menghadapi resesi.


"Karena swasta praktis lumpuh. Masyarakat juga praktis harus ditolong. Ini yang sekarang diandalkan ya pemerintah. Maka dengan segala kebijakan, pembiayaan sharing dengan bank Indonesia. Untuk stimulus diperbanyak skemanya. Belanja pemerintah didorong supaya lebih cepat dan terserap," ujarnya.


"Itu adalah strategi yang ditempuh, termasuk menggunakan instrumen fiskal, misalnya, memberi insentif bagi para pelaku usaha yang memang relatif aman Covid-19, tetapi produktif. Misalnya, beberapa industri alat kesehatan dan obat-obatan. Lalu, UMKM yang memproduksi barang2 substitusi didukung dengan cara kita mengecilkan kran impor untuk barang-barang jadi. Ini dilakukan dengan terus menerus. Kira-kira itu desainnya."


Yustinus menjelaskan, pertumbuhan ekonomi, walaupun negatif, arahnya mengecil. Dari minus 5,32 persen, proyeksinya menuju ke minus 2,9 persen sampai minus 1,0 persen. Pemerintah berharap, pada kuartal IV 2020, dengan spending yang lebih besar, pertumbuhan ekonominya bisa mendekati nol.


"Targetnya sebenarnya sudah positif pada kurtal IV nanti. Harapannya kalau sudah sudah positif, target pada 2021 nanti APBN baru, kita bisa lebih fokus terus melanjutkan penanganan kesehatan," imbuhnya.


Yustinus meminta masyarakat tetap tenang dan beraktivitas normal dan tidak perlu khawatir. Sebab, dia menganggap secara fundamental ekonomi Indonesia realtif stabil dan pemerintah memiliki respons kebijakan yang pas dan tepat menghadapi resesi.


"Tetap disiplin, patuhi protokol Covid-19 supaya kita juga segera pulih. Lalu, tidak perlu khawatir berlebihan tadi artinya, menabung secukupnya, tetap berkonsumsi, berbelanja tanpa perlu boros. Hidup normal saja, rasanya itu sudah cukup membantu pemerintah untuk menciptakan prakondisi supaya pemulihan lebih cepat," katanya.


"Ini saatnya kita semua menjadi kreatif, lalu bekerjasama memanfaatkan peluang. Misalnya, UMKM bisa masuk ke market place. Jualan bisa dengan online. Lalu, substitusi dalam negeri juga saat ini ada peluang, karena kran impor juga dibatasi, sehingga ini kesempatan untuk memproduksi mengisi kebutuhan dalam negeri agar nanti yang menikmati kue ekonomi kita sendiri."




PT RIFAN FINANCINDO BERJANGKA - Why

No comments:

Post a Comment